Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menjelaskan bahwa utang pemerintah atas pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng senilai Rp 344 miliar dibayarkan oleh pihak swasta, di mana uang tersebut sebetulnya telah dikumpulkan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), namun belum bisa dibayarkan karena belum mendapatkan izin dari Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Adapun untuk perhitungannya sendiri telah disepakati bersama dalam rapat-rapat yang digelar sebelum tanggal 19 Januari 2022, atau pada waktu sebelum dimulainya program satu harga.
“Kami sebelum tanggal 19 (Januari 2022) itu hampir setiap hari ada di gedung utama Kementerian Perdagangan bersama Pak Dirjen PDN yang lalu, dan para eselon. Untuk meeting-kan, gimana nih supaya harga bisa masuk, rakyat menjerit karena per liternya mahal di atas Rp24.000. ‘Sudah kita buat deh Rp 14.000 ya, nanti kita dukung, kita ganti uangnya bukan dari APBN, dari BPDPKS, karena itu uang swasta yang dititipkan, yang diberikan sebagai ongkos pungutan ekspor’, ya udah. Nah itu prosesnya hampir setiap hari itu,” terang Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey kepada CNBC Indonesia, Jumat (28/4/2023).
Kendati demikian, pada saat program dimulai tanggal 19 Januari 2022, kata Roy, pihaknya juga masih belum memegang Permendag Nomor 3/2022 sebagai landasan hukumnya. Namun, anggota Aprindo tetap menjalankan komitmen tersebut, di saat harga minyak goreng berada di Rp 24.000 per liter tetapi dijual Rp 14.000 per liter, sesuai dengan arahan dari rapat-rapat yang sebelumnya.
“Nah pada saat 19 Januari pun kita tidak memegang Permendag 3, belum ada. Kira-kira 7-10 hari kemudian baru Permendag 3 nya itu keluar, artinya apa? Belum ada pegangan apapun, kita percaya pada pemerintah, kita melakukan komitmen itu untuk menjualkan satu harga, pada saat harga per liternya Rp 24.000, kita jual Rp 14.000 sesuai dengan arahan pada hari-hari sebelumnya. Nah sudah sampai begitu kita lakukan coba,” jelasnya.
Alih-alih mendapatkan pembayaran, para peritel justru mendapatkan kabar bahwa Permendag 3 dibatalkan dan diganti dengan Permendag 6 Tahun 2022. Dari situ lah akhirnya permasalahan terkait pembayaran rafaksi minyak goreng terjadi.
“Nilai yang kita tagih, yang Rp 344 miliar dari tanggal 19-31 Januari 2022 datanya sudah selesai kita berikan pada tanggal 31 Januari, bahkan itu langsung pada hari itu diminta gak boleh lewat tanggal 31 Januari. Sudah, kita sudah berikan data kepada produsen, produsen sudah serahkan data kepada Kemendag,” tutur dia.
Seiring berjalannya waktu, sampai dengan hari ini, sudah lewat hampir 1,5 tahun maka yang dikhawatirkan nilai rupiah menjadi turun karena inflasi.
“Kemudian, sekarang kalau nilai itu dihitung, Rp 344 miliar kan net present value itu atau nilai rupiah itu akan turun dengan inflasi. Artinya, Rp 344 miliar itu sudah bukan nilai segitu lagi kan kalau lama dibayar,” ujar Roy.
“Sudah berkurang nilainya, sudah berkurang dengan nilai yang pada awal. Nah itu siapa yang menanggung kerugian net present value kalaupun nanti kita dibayar, ya belum tau kapan kita dibayar yah. Tapi waktu yang berjalan itu kan menurunkan nilai uang, sementara dibayarkannya tetap dengan nilai tersebut, nilai uangnya sudah turun ke kami. Nah itu lah yang kayak begitu apa gak dipikirkan oleh pemerintah ya,” tambahnya.