Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada rapat terbatas 11 Januari 2023 silam, menegaskan bahwa Devisa Hasil Ekspor (DHE) Indonesia harus dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat dan kemakmuran negara.
Saat itu Jokowi meminta jajarannya untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).
Perubahan aturan DHE SDA itu, sesuais amanat dari Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3). Pasal tersebut berbunyi bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu, menurut Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kemenko Perekonomian Elen Setiadi kebijakan hilirisasi SDA yang telah dijalankan pemerintah sejak 2009 lewat Undang-Undang Minerba masih memerlukan upaya terintegrasi untuk mendorong percepatannya.
“Salah satunya adalah melalui sumber pembiayaan hilirisasi, yang sebagian besar bersumber dari luar negeri (utang luar negeri) dan terpusat di industri hulu. Sehingga dibutuhkan penguatan sumber pembiayaan dalam negeri,” jelasnya saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu, dikutip Rabu (12/4/2023).
Aturan penempatan DHE para eksportir lewat revisi PP 1/2019, kata Elen juga karena peningkatan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) valas diperlukan, agar seimbang dengan pertumbuhan kredit valas perbankan di domestik.
Sehingga secara berkesinambungan memberikan nilai positif bagi perekonomian, yaitu dengan menjadi substitusi terhadap penarikan utang dari luar negeri.
Pasalnya, peningkatan ekspor SDA dalam beberapa tahun terakhir belum berdampak signifikan terhadap ketersediaan valas domestik yang tercermin pada peningkatan DPK valas perbankan yang terbatas.
Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan kewajiban untuk memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia, perlu penyempurnaan regulasi DHE SDA untuk menampung perkembangan kebutuhan hukum melalui penggantian Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019.
Maksud dan tujuan revisi PP Nomor 1 Tahun 2019, kata Elen adalah mendorong sumber pembiayaan pembangunan ekonomi, mendorong pembiayaan investasi dan modal kerja untuk percepatan hilirisasi sumber daya alam.
“Meningkatkan investasi dan kinerja ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan dan/atau pengolahan sumber daya alam, juga mendukung perwujudan stabilitas makroekonomi dan pasar keuangan domestik,” jelas Elen.
Elen menjelaskan, perumusan aturan terbaru penempatan DHE sudah dilakukan dengan matang dengan mempertimbangkan beberapa data yang dimiliki oleh Bank Indonesia.
Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) perputaran dolar atau devisa oleh para eksportir, terdapat alokasi devisa yang masih bisa untuk di tahan di dalam negeri.
“Dari data yang ada mostly sekitar 35%. Ini sebenarnya adalah dana yang sebenarnya dia tidak gunakan lagi untuk pengembangan usaha, kegiatan berikutnya, dan lain sebagainya,” tuturnya.
Dengan adanya versi terbaru dari PP 1/2019 ini, pemerintah berharap DHE SDA Indonesia bisa dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat dan kemakmuran negara.
Oleh karena itu, aturan DHE di dalam PP 1/2019 akan mencakup aturan mengenai jumlah minimal DHE yang harus ditahan yakni minimal US$ 250.000 dalam rentang waktu 3 bulan.
Kendati demikian, para eksportir juga tidak diwajibkan untuk mengkonversi dolarnya ke rupiah.
“DHE yang diwajibkan tadi dapat dikonversi. Dapat bukan wajib. Ini sebenarnya sudah diatur di Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Jadi, itu hal yang baru,” jelas Elen.
Sementara bagi eksportir dengan nilai PPE kurang dari US$ 250.000 dapat secara sukarela menempatkan DHE SDA dalam rekening khusus.
Di dalam revisi PP 1/2019 juga akan diatur mengenai di mana saja DHE harus disimpan, hingga insentif pajak bagi para eksportir, hingga insentif kepada bank penyimpanan DHE.
Sanksi yang akan diberikan bagi eksportir yang melanggar pun, akan diberikan sanksi tegas yakni pengenaan sanksi administratif berupa penangguhan pelayanan ekspor.
“Jadi benang merahnya dalam PP ini sudah diatur kewajiban, pengenaan sanksi. Kuncinya disitu, dan kita tidak banyak lagi variasi (sanksi) disini,” jelas Elen.
Jika tidak ada aral melintang, dan sudah ada restu dari Jokowi, aturan terbaru dari PP 1/2019 akan berlaku pada 1 Juli 2023. Aturan pelaksana akan ditetapkan paling lama saat PP berlaku.